Teori X dan Teori Y - Douglas McGregor

Minggu, 10 April 2011

Teori X dan Teori Y - Douglas McGregor

Menurut McGregor organisasi tradicional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Theori Y.
Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya hádala:
1. Tidak menyukai bekerja
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi.
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi..
Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. asumís teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia hádala sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan lepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangka.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jira dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.

TEORI MOTIVASI BERPRESTASI (DAVID MC CLELLAND)

TEORI MOTIVASI BERPRESTASI (DAVID MC CLELLAND)

Teori Motivasi Berprestasi mengemukakan bahwa, manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi diatas kemampuan orang lain. Teori ini memiliki sebuah pandangan (asumsi) bahwa kebutuhan untuk breprestasi itu adalah suatu yang berbeda dan dapat dan dapat dibedakan dari kebutuhan-kebutuhan yang lainnya.

Menurut Mc Clelland, seseorang dianggam memiliki motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain. Ada tiga jenis kebutuhan manusia menurut Mc Clelland, yaitu kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk kekuasaan, dan kebutuhan untuk berafiliasi.

A. Kebutuhan akan Prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses.

Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.

n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi , karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.

B. Kebutuhan akan Kekuasaan (n-POW) Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.

n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.

C. Kebutuhan untuk Berafiliasi atau Bersahabat (n-AFI) Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.

Mc Clelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi. Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala McClelland antara lain:
  1. Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
  2. Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan.
  3. Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).
Terdapat beberapa karakteristik dari orang yang menurut Mc Clelland sebagai berprestasi tinggi, antara lain;
  • Suka mengambil resiko yang moderat (moderate risk). Pada umumnya, nampak pada permukaan usaha, bahwa orang berpretasi tinggi mempunyai resiko yang besar. Tetapi penemuan Mc Clelland, sebagai ilustrasi, Mc Clelland melakukan percobaan labolatorium, beberapa partisipan diminta olehnya melempar lingkaran-lingkaran kawat pada pasak-pasak yang telah dipasang, pada umumnya orang-orang tersebut melempar secara acak. Kadang-kadang agak jauh, kadang-kadang dekat dengan pasak. Orang-orang uang mempunyai kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi cara melemparnya, akan jauh berbeda dengan kebanyakan orang tersebut. Orang ini akan lebih berhati-hati mengukur jarak. Dia tidak akan terlalu dekat agar semua kawat bisa masuk ke pasak dengan mudah, dan juga tidak terlalu jauh sehingga kemungkinan meleset itu besar sekali. Dia ukur jarat sedemikian rupa, sehingga kemungkinan masuknya kawat, lebih banyak kemungkinan masuknya, dibandingkan dengan melesetnya. Orang semacam ini mau berprestasi dengan suatu resiko yang moderat, tidak terlalu besar resikonya, dan juga tidak terlampau rendah.
  • Memerlukan umpan balik yang segera. Ciri ini amat dekat dengan karakteristik di atas. Seseorang yang mempunyai kebutuhan prestasi tinggi, pada umumnya lebih mengenangi akan semua informasi akan hasil-hasil yang dikerjakannya. Informasi yang merupakan umpan balik yang bisa memperbaiki prestasinya dikemudian hari sangat dibutuhkan oleh orang tersebut. Informasi itu akan memberikan kepadanya penjelasan bagaimana ia berusaha memperoleh hasil. Sehingga ia tahu kekurangannya, yang nantinya bisa diperbaiki untuk peningkatan prestasi berikutnya.
  • Memperhitungkan keberhasilan. Seseorang yang berprestasi tinggi, pada uumnya hanya memperhitungkan keberhasilan prestasinya saja dan tidaj memperdulikan penghargaan-penghargan materi. Ia lebih tertarik pada materi intrinsik dari tugas yang dibebankan kepadanya sehingga menimbulkan prestasi dan sama sekali tidak mengharapkan hadiah-hadiah materi dan penghargaan lainnya atas prestasinya tersebut. Kalau dalam berprestasi kemudian mendapatkan pujian, penghargaan dan hadia-hadiah yang melimpah, hal tersebut bukanlah karena ia mengharapkan tetapi karena orang lain atau lingkungannya yang akan menghargainya.
  • Menyatu dengan tugas. Sekali orang yang berprestasi tinggi memilih suatu tujuan untuk dicapai, maka ia cenderung untuk menyatu dengan tugas pekerjaannya sampai ia benar-benar berhasil secara gemilang. Hal ini berarti bahwa ia bertekad akan mencapai tujuan yang telah dipilihnya dengan ketekatan hati yang bulat. Dia tidak bisa meninggalkan tugas yang selesai baru separuh perjalanan, dan dia tidak akan puah sebelum pekerjaan itu selesai seluruhnya. Tipe komitmen pada dedikasi ini memancar dari kepribadian yang teguh. Orang lain merasakan bahwa orang berprestasi tinggi seringkali tidak bersahabat (loner). Dia cenderung realistik mengenai kemampuannya dan tidak menyenangi orang lain bersama-sama dalam satu jalan dalam pencapaian suatu tujuan.

TEORI MOTIVASI 2 FAKTOR HERZBERG

TEORI MOTIVASI 2 FAKTOR HERZBERG
 
Teori motivasi dua faktor dikemukakan oleh oleh seorang psikolog bernama Herzberg. Dinamakan teori dua faktor karena memang Herzberg mengemukakan perlunya memperhatikan dua faktor sebagai bentuk motivasi yang akan diberikan kepada seseorang individu. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan (hygiene/maintenance) dan faktor-faktor penyebab kepuasan (motivator). Menurut Marwansyah dan Mukaram (2000:157), Faktor hygiene tidak berhubungan langsung dengan kepuasan kerja, tetapi faktor hygiene berhubungan langsung dengan timbulnya ketidakpuasan kerja (dissatiesfier). Oleh karena itu, faktor-faktor hygiene tidak dapat digunakan sebagai alat motivasi, tetapi merupakan alat untuk menciptakan kondisi yang mencegah timbulnya ketidakpuasan. 

Sedangkan faktor motivator adalah faktor-faktor yang terutama berhubungan langsung dengan isi pekerjaan (job content) atau faktor-faktor intrinsik. Motivator akan mendorong terciptanya kepuasan kerja, tetapi tidak terkait langsung dengan ketidakpuasan. Sedangkan faktor hygiene adalah rangkaian kondisi yang berhubungan dengan lingkungan tempat pegawai yang bersangkutan melaksanakan pekerjaannya (job context) atau faktor-faktor ekstrinsik

TEORI MOTIVASI HIRARKI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow / Abraham Maslow 

Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
Lima (5) kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan Fisiologis
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

KONFLIK DAN JENIS-JENIS KONFLIK

KONFLIK
MASALAH, FUNGSI DAN PENGELOLAANNYA

Konflik! Sekali lagi konflik! Apakah itu? Apakah yang disebut ‘konflik’ itu?
Apakah ‘konflik’ itu harus dipandang dan dinilai sebagai masalah yang apabila dibiarkan
saja akan mengancam sistem kehidupan dan kelestariannya? Ataukah sesungguhnya ia
itu harus dikatakan punya fungsi untuk mendinamisasi sistem kehidupan, yang oleh
sebab itu harus dijaga tetap ada?

Definisi ‘Konflik’: Antara Fungsi dan Disfungsi

‘Konflik’ berasal mula dari kata asing conflict yang pada gilirannya berasal dari
kata confligere < com (yang berarti ‘bersama’ atau ‘bersaling-silang’) + fligere (yang
berarti ‘tubruk’ atau ‘bentur’). Didefinisikan secara bebas dari arti harafiahnya
itu, ‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan bersilang
jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan. Komflik itu pada
umumnya didefinisikan sebagai suatu periatiwa yang timbul karena adanya niay-niat
bersengaja antara pihak-pihak yang berkonflik itu. Dalam peristiwa seperti ini, konflik
akan merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masong-
masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama ini, atau
setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya itu ke posisi yang
lebih tersubordinasi.
Konflik itu bisa bersifat laten alias terpendam dan/atau “tertidur”, tetapi bisa pula
bersifat manifes alias terbuka. Konflik bisa pula bermula dari perbedaan kepentingan
yang materiil-ekonomik dan yang serba fisikal itu, akan tetapi bisa pula bermula dari
perbendaan dan pertentangan kepentingan ideologi atau asas moral yang serba simbolik.
Apapun wujudnya, konflik itu selalu merefleksikan tidak adanya toleransi atas eksistensi
pihak lain, suatu intoleransi yang timbul hanya karena adanya perbedaan -- dan bahkan
pertentangan --.kepentingan dan/atau paham dengan pihak lain itu. Tiadanya toleransi
seperti itu mungkin saja cuma bermula dari rasa cemburu dan curiga, akan tetapi yang
pada akhirnya akan berujung pada timbulnya rasa khawatir akan terancamnya eksistensi
atau posisinya yang selama ini dominan.
Dalam kehidupan komunitas lokal yang eksklusif, dengan sifat hubungannya
yang serba tatap muka dan mempribadi, di mana setiap warga sama-sama memiliki
memori kolektif yang serupa, konflik yang manifes dalam bentuk bersilang selisih
pendapat, apalagi yang sampai bersiterus menjadi benturan dan bertumbuk fisik, amatlah
dikhawatirkan “akan menggangu stabilitas” dan merusak suasana rukun yang berasaskan
prinsip “seia-sekata” serta semangat berbagi atas dasar prinsip “berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing”. Kalaupun dalam masyarakat seperti ini telah mengenal pola
stratifikasi yang membedakan posisi hierarkik antar-warga, askripsi-askripsi dalam hal

penetapan posisi warga menurut kelas atau kasta masing-masing itupun umumnya telah
diterima bersama secara hegemonik sebagai sesuatu yang kodrati. Bantahan terhadap
tradisi yang hegemonik seperti ini hanya akan berakibat dakwaan telah terjadinya bid’ah
yang akan menggoncangkan sistem kehidupan yang telah mapan.
Akan tetapi, dalam kehidupan yang telah mulai berubah menuju ke wujudnya
yang serba terbuka, disebabkan oleh berbagai invensi dan inovasi teknologik dalam
bidang transportasi dan komunikasi, konservatisme dan kolektivisasi pendapat --
sebagaimana tersimak dalam komunitas-komunitas lokal yang eksklusif dan tertutup
seperti itu -- mulailah menemui cabarannya. Bukan prinsip “seia dan sekata dan saiyeg
saekapraya” itu yang jadi andalan, melainkan prinsip individualisasi pendapat dan
ekspresi kreatif itulah yang mesti menjadi andalan kehidupan yang progresif. Perbedaan
pendapat adalah hak, dan toleransi atas perbedaan pendapat akan berujung terjadinya
kemajuan dalam peradaban manusia.
Di sini kehidupan manusia mulai dikonstruksi dalam modelnya yang baru sebagai
suatu kancah keragaman yang – sekalipun bermula dari merebaknya silang pendapat dan
perbedaan pilihan antar-warga – justru akan memperkaya warisan budaya suatu bangsa,
atas dasar keyakinan bahwa “perbedaan itu adalah rahmat”. Di sini kebenaran bukan lagi
berasal dari paringan para mufti, melainkan bermula dari dialektika tesis versus antitesis
yang melahirkan sintesis alias tesis baru. Paradigma baru disiarkan, bahwa dari
perbedaan paham akan dilahirkanlah kebenaran. Du choc des opinions jaillit la verite,
seperti yang ditulis Dr Mohammad Hatta dalam salah satu pengantar bukunya.

Konflik Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Yang Berprinsip Demokrasi

Harus diakui bahwa setiap konflik itu, lebih-lebih manakala manifes dalam
bentuk benturan fisik, tak pelak akan menimbulkan goncangan, yang mungkin hanya
berskala kecil saja akan tetapi tak muhal bisa pula berskala besar. Goncangan inilah,
sekalipun berskala kecil-kecil saja, apalagi kalau berskala besar, biasa dikhawatirkan
akan mengancam tegaknya sendi-sendi kehidupan. Dapatlah dimengerti apabila
komunitas-komunitas lokal yang ekslusif dan berprinsip “seia sekata” itu akan amat
terganggu dan akan merasakan goncangan oleh terjadinya perbedaan paham yang
dikhawatirkan akan melahirkan berbagai jurus bid.ah.
Dapatlah dimengerti mengapa dalam kehidupan suku-suku dan sekte-sekte yang
eksklusif ini silang selisih dan pertentangan fisik tidak sekali-kali bisa ditenggang, dan
harus segera diatasi dengan berbagai langkah, mulai dari yang mengarah ke pemulihan
hubungan (dalam rupa “bermaaf-maafan”) sampaipun ke pengucilan dan pengusiran atau
bahkan juga bisa pematian (sebagai tindak penghukuman terhadap mereka yang durhaka
atau murtad). Kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang tersimak dalam
kehidupan bermasyarakat yang telah lebih terbuka, baik pada tataran nasional yang antar-
suku/sekte maupun pada tataran global yang antar-bangsa. Dalam kehidupan ini,
walaupun tak hendak ditanggapi sebagai peristiwa yang nyaman, akan tetapi dalam
kehidupan yang telah terbuka -- dengan kesediaan untuk menerima berbagai perubahan --
ini apa yang disebut goncangan itu tetap saja dirasakan dan dirasionalisasi sebagai
sesuatu yang perlu, sine qua non.
Dalam kehidupan industrial yang berparadigma the sovereignty of the individuals,
dengan mobilitas individu yang tinggi, untuk melintasi berbagai perbatasan teritori yang

serba fisik ataupun perbatasan budaya yang serba simbolik, setiap perbedaan pilihan
individu, yang akan mengundang konflik dan berbagai kritik yang mengguncang, akan
disambut dengan toleransi yang relatif tinggi. Perbedaan pilihan paham dianggap
sebagai obat mujarab untuk mengatasi kebekuan dan kebekuan yang konservatif, yang
alih-alih bersifat disfungsional justru dipandang amat fungsional untuk mendinamisasi
setiap ide dan ideologi atau ajaran yang telah terlanjur mapan. Konflik disambut baik
sebagai suatu pilihan manusia yang fungsional dalam kehidupannya, asal konflik itu bisa
dikelola dengan agar tak meruyak di luar kontrol. Dikatakan secara analogik, konflik itu
bagaikan api dalam kehidupan manusia, yang berpotensi merusak namun sungguh
diperlukan dalam kehidupan manusia yang beradab, asal saja tak dibiarkan berkobar liar
di luar kontrol. Bagaikan api yang harus dikontrol dalam tungku agar berguna, demikian
juga konflik-konflik agar fungsional harus dikontrol lewat berbagai cara.
Dalam kehidupan yang tak lagi tersekat-sekat pagar eksklusivisme yang kedap,
ialah ketika konteks yang dinamik merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang secara
serta merta telah meminggirkan gambaran yang serba seragam dan selaras, setiap warga
(demi survivalnya!) mau tak mau mesti belajar menerima dan beradaptasi pada realitas
lingkungannya yang kontekstual, dan tidak lagi cuma bisa bersikukuh pada ajaran-
ajarannya yang serba tekstual. Setiap warga harus belajar bersikap altruistik, dan tidak
lagi egosentrik, untuk merasa berkewajiban menghargai hak-hak orang lain yang
mempunyai pendapat yang berbeda. Dalam kehidupan seperi itu orang harus belajar
menyelesaikan persoalan atas dasar prinsip give and take. Menyadari bahwa dalam
kehidupan yang terbuka itu konflik yang terjadi antar-puak yang masing-masing
mempunyai latar kepentingan dan/atau paham yang berbeda-beda., orangpun mesti
mengembangkan seni dan mekanisme mengelola konflik. Yang penting ialah, bahwa
terjadinya konflik tetap dimungkinkan, asal dalam batas-batas suatu ruang gelanggang
kebebasan tertentu, tanpa menimbulkan cedera yang serius, yang alih-alih demikian
justru akan menyebabkan para pihak yang tengah berhadapan itu berkesempatan untuk
saling waspada dan untuk mengerahkan seluruh potensinya.

Mengontrol Dan Mengelola Konflik

Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih
kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang
demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya
menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi
tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah
cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari
itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai
lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah
perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik
pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan
diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan
kelestarian kehidupan yang tenteram.
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan
mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan
sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-

insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak
hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan, alih-alih demikian, ia besikap
konfrontatif dengan puak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik
yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all
serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang
pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung
pada model yang demikian ini, yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang
demokratik, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk
menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja,
yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan
aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-
undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
Maka, dalam masyarakat demokratik, anak-anak bangsa lebih sering dilatih untuk
bisa berkonflik dengan adab yang baik, bersaing keras atas dasar aturan permainan yang
disepakati bersama. Semangat inklusivisme mesti dipegang teguh, dengan mengalahkan
lawan tanpa mencederai lawan (menang tanpa ngasorake), dengan menundukkan lawan
tanpa membangkitkan rasa dendam di pihak lawan. Bukan barang kebetulan kalau model
pendidikan anak-anak bangsa di negeri-negeri demokratik itu justru pendidikan untuk
bertarung dengans semangat inklusivisme seperti itu. Olah raga yang kompetitif untuk
memperebutkan kemenangan yang dilimpahi kehormatan, sebahagian malah dengan
memperbanyak body contacts yang tak hanya qakan menguji kekuatan badan akan tetapi
juga kekuatan mengontrol emosi dan sportivitas untuk membangun apresiasi pada
perlawanan lawan, adalah bagian dari pendidikan masyarakat-masyarakat demokratik.

Memperbincangkan ihwal konflik yang terjadi dan tengah kita amati sehari-hari
setakat ini di Jawa Timur, assessments apakah yang dapat kita buat dan jelaskan
berdasarkan model konseptual-teoretik di muka itu. Adakah Jawa Timur ini – sekalipun
sudah berformat dan berskala propinsi – masih harus kita bilangkan sebagai kumpulan
masyarakat lokal yang eksklusif, yang tak sedikitpun terjamah ide inklusivisme? Adakah
dengan demikian warga daerah Jawa Timur ini sebetulnya masih dikuasai orientasi
eksklusivisme pra-demokratik, yang oleh sebab itu menampilkan diri sebagai sosok-
sosok yang tidak akan bisa menenggang perbedaan, untuk memandang perbedaan itu
adalah sumber segala konflik? Nota bene konflik-konflik ini harus dibilangkan sebagai
konflik yang mesti diselesaikan dengan strategi ‘kalah-memang’, dan upaya agar
memang harus diupayakan apapun caranya, karena sang pemenang akan memperoleh
semuanya, tanpa perlu menyisakan apapun (tak juga kehormatan dan penghormatan!)
untuk yang tengah kebetulan kalah, tak peduli apapun dendam mereka itu? Adakah
kehidupan yang secara ekonomik telah terbuka, namun diwawas dari optik sosial dan
kultural masuh jauh dari prinsip keterbukaan? Adakah semua itu pratanda bahwa
demokrasi di propinsi Jawa Timur ini masih jauh dari kenyataan< dan baru ada dalam
impian, slogan dan retorika para elit?

Adapun Jenis-Jenis Konflik seperti di bawah ini.

Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.,
1) Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
  • Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
  • Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
  • Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan
  • Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan yang diinginkan.

Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
a) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
b) Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
c) Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

2) Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.

3) Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.

4) Konflik interorganisasi
Konflik intergrup merupakan hal yang tidak asing lagi bagi organisasi manapun, dan konflik ini meyebabkan sulitnya koordinasi dan integrasi dari kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas dan pekerjaan. Dalam setiap kasus, hubungan integrup harus di

manage sebaik mungkin untuk mempertahankan kolaborasi dan menghindari semua konsekuensidisfungsional dari setiap konflik yang mungkin timbul.
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.